Senin, 14 September 2009

SUATU KALI DI NEGERIKU DI BULAN MEI*


Bulan Mei agaknya memang pantas dijadikan sebagai salah satu bulan yang wajib diistimewakan oleh bangsa Indonesia. Tentu saja ini tanpa mengurangi keistimewaan bulan-bulan lain. Tidak lantas kita terlalu mengagungkan bulan Mei juga. Tapi keberadaannya sebagai salah satu bulan dalam kalender yang kita pakai - bangsa Indonesia secara umum - memiliki beberapa hari istimewa yang menjadi peringatan bangsa ini. Selain bulan Agustus yang setiap tanggal 17 nya menjadi hari sakral karena kita memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia, bulan Mei memiliki beberapa tanggal yang menjadi perhatian publik Indonesia.
Setiap tanggal 2 Mei kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. Kelahiran seorang tokoh pendidikan bangsa menjadi tonggak diperingatinya hari tersebut. Adalah Ki Hajar Dewantara yang telah menghembuskan semangat perjuangan bangsa untuk pendidikan anak negeri. Sekolah yang ia dirikan di Yogyakarta, Sarjana Wiyata Taman Siswa masih berdiri tegak hingga kini menandai bahwa ruh perjuangan itu masih ada hingga sekarang dan sampai nanti. Pendidikan pun dijadikan salah satu tujuan pembangunan nasional yang tertera dalam Pembukaan Undang-Undang 1945. Bahwa pemerintahan yang berlangsung bertanggung jawab atas usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Setiap anak yang menghembuskan nafas di bumi Indonesia berhak atas pendidikan yang seharusnya dapat mereka enyam dengan pantas dan wajar. Begitulah seharusnya!
20 Mei, setiap tanggal ini kita memperingatinya sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Tahun ini kebangkitan nasional menginjak usia yang ke 101. Sebuah gerakan yang cukup lama, cukup tua sebenarnya. Organisasi Budi Utomo menjadi semangat yang mengawali kebangkitan nasional Indonesia. Dengan politik etis yang mulai diberlakukan, kaum pelajar waktu itu mulai mengerti arah perjuangan bangsa. Budi Utomo adalah organisasi pertama yang membawa semangat dan paham nasionalisme. Sebelumnya para jong negeri ini masih terbawa dengan semangat chauvinisme kedaerahan yang begitu melekat erat. 20 Mei 1908 menjadi titik tolak perjuangan bangsa ini untuk menuju puncak perjuangan dengan deklarasi oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945.
Selanjutnya, beberapa peristiwa di bulan Mei menjadi konsen masyarakat kita sejak 11 tahun terakhir. Tonggak awal reformasi terjadi pada bulan Mei 1998 yang lalu. Harus kita sadari bahwa reformasi telah berjalan selama satu dasawarsa lebih. Jika pada 1908, mahasiswa kedokteran School Tot Oppleiding Van Indische Artsen (STOVIA) atau sekolah pendidikan dokter Hindia yang berperan dalam pendirian organisasi Budi Utomo. Maka, pada 1998 hampir semua mahasiswa dari seluruh penjuru negeri menyuarakan hal yang sama meskipun tidak semuanya bisa hadir di gedung MPR untuk menyatakan tuntutan mereka. Sekali lagi adalah mahasiswa yang berada di barisan pertama negeri ini untuk menyuarakan ’suara yang terbungkam’. Peristiwa Semanggi atau Trisakti adalah contoh kecil dari fakta yang terungkap dalam perjuangan Mei 1998. Darah telah mengalir di sana, Kawan!!!
Dan memang gerakan mahasiswa 1998 berhasil mendapatkan tuntutannya. Presiden Soeharto mundur dan terjadilah gelombang reformasi di sana-sini, di seluruh penjuru negeri. Kebebasan pers, kebebasan berpendapat, kebebasan berorganisasi adalah salah tiga dari sekian kebebasan yang diraih setelah pemimpin orde baru itu tumbang. Tetapi, tidak selamanya reformasi yang digemborkan membawa pengaruh positif. Setelah itu, bangsa Indonesia seolah kehilangan jati diri. Kebebasan individu yang terlalu diumbar membuat kebebasan individu lain terganggu bahkan terbelenggu. Yang lain, adalah euforia kemenangan berlebihan yang bahkan hingga saat ini masih kentara. Lagu-lagu kejayaan masih sering dikumandangkan yang membuat mahasiswa lupa bahwa reformasi 1998 hanyalah sebuah awal. Periode selanjutnya lah yang harusnya diyakini sebagai masa perjuangan sebenarnya. Di sisi lain, aktivis 1998 yang memasuki dunia politik seolah lupa dengan komitmen awal mereka untuk membuat perubahan. Beberapa – atau banyak – di antaranya yang kemudian ikut arus dan lupa dengan nafas perjuangan yang telah mereka hembuskan pada Mei 1998.
Mahasiswa pasca reformasi 1998. Romantisme kemenangan itu masih terlalu mendominasi. Banyak aksi yang dilakukan tanpa menghasilkan banyak implikasi pada keputusan publik para petinggi negeri. Pendidikan politik jarang dilakukan di kampus yang harusnya menjadi tempat penggodokan mahasiswa sebelum tahu dunia luar yang liar. Kegiatan seremonial saja yang banyak dilakukan oleh mahasiswa yang menamai diri mereka sendiri aktivis kampus. Hanya sebagai bukti masih ada mahasiswa dengan setumpuk kegiatan intelektual mereka. Ya, hanya sebatas itu saya kira!!!
Belum banyak yang berubah sejak Mei 1998 lalu. Tentu saja selain jabatan kepresidenan dan kabinetnya yang telah berganti beberapa kali dan menjamurnya aneka penerbitan yang menamai diri mereka produk jurnalistik dan pers profesional. Mei tahun ini pun menjadi sebuah lembaran sejarah baru saat tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden akan berjuang untuk tampuk kekuasaan periode 2009-2014 dengan aneka usaha koalisi dan mungkin kong kalikong yang mereka lakukan.
Apapun itu, seperti yang pernah dipertanyakan oleh sastrawan gaek, Taufik Ismail dalam salah satu sajaknya ”... Masih adakah harapan untuk kita, manusia Indonesia?”, Mei tahun ini semoga menjadi awal yang apik untuk lembar sejarah negeri yang bernama Indonesia. Agar kita dapat menjawab dengan lantang pertanyaan Taufik Ismail, bahwa masih ada harapan untuk kita, manusia Indonesia. Yang akan menjadi kenang-kenangan untuk anak-cucu, generasi selanjutnya.

* Tutut Dwi Handayani
Pimpinan Umum LPM Motivasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar