Senin, 14 September 2009

PPG Kecewakan Begog

Di siang bolong itu Begog dan Njenik duduk nyante bak raja dan permaisuri di shelter ijo kebanggaan kampus ungu sambil minum es srrrruuuuput. Mereka seolah-olah berpacaran sambil melamunkan something yang tak jelas rupanya bila diperhatikan dari jauh.
“Nik, udah belajar buat UAS besok belum?” Begog awali pembicaraan. Suasana heningpun pecah.
Njenik pun tersentak.
“eh ya apa Gog!? Belum. tumben kamu mikirin soal ujian,,,biasanyakan kamu mikirin perut, bisa makan ngga ya…hehe” ledek njenik.
“perutkan juga penting. Kena busung lapar baru tau rasa kamu. Wuuu…”, cengir Begog tak mau kalah.
“Masalah belajar nanti ajalah gog pake sistem SKS kan keren.heeee….”
“Ngawur kamu Nik, ngga baik lho buat kesehatan. Mau kamu cepat tua karena melek malem-malem? wakaka….”
“Alaah gayamu Gog Gog. . . ’’
Batang hitung Kang Sipon muncul. Seperti jalangkung yang datang tak di undang dan pergipun ga usah di antar. Kan udah gede…
“Gog. Ko aku nyium bau kang Sipon ya…?”
“Emang dia itu ga seneng kalau ngelihat temennya pacaran.”
“yeeeee katesiape kita pacaran? Ngarep yo….” Wuu..
Hihiii..Begog nyengir.
“Hayo hayo lagi opo Gog, kok tumben berduaan?” sapa kang Sipon sambil menghampiri Begog dan Njenik.
“ya seperti yang kang lihat. Beginilah kalau namanya cinta. Dimana ada begog, disitulah juga ada Njenikku. Kang Sipon ganggu sich. Menurut rumus yang aku dapat, kalau ada orang yang berduaan yang ketiga adalah setan lho ya..kwakaka...”
“Wach berarti kang Sipon setan dunks hihiii…,” timpal Njenik.
“enyahlah setan! Wus wus!” ledek Begog.
“es karepmu Gog Gog. Biarlah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu!”,
“Oh ya Gog, Nik, kalian sudah tahu tentang berita PPG belum?”
“PPG..sudah sich kang dari ngisi polling kemarin, tapi asal tak isi saja”, jawab Begog datar.
“Emang PPG apa Gog? Sok tahu kamu..”, saut Njenik.
“Iya Gog, menurut kamu PPG apa?”, timpal Kang Sipon.
“Apa ya..? Ah ga taulah”, penyakit khas Begog kambuh. Garuk-garuk kepale plus manyun nyun nyun.
“Kalau ga salah sich berhubungan dengan kuantitas guru, injih ga Kang?”.
“Bukan kuantitas Gog, tetapi kualitas. Gini lho Gog aku jelasin. PPG itu Pendidikan Profesi Guru, untuk mendidik guru supaya menjadi lebih profesional sesuai dengan bidang studinya. PPG dilaksanakan apabila kita sudah lulus S1. Tetapi untuk mengikuti PPG ini kita harus mengikuti seleksi masuk. Yach…seperti tes SPMB”, jelas Kang Sipon dari sampe z. “Terus yang dapat ikut PPG siapa saja Kang?” Tanya Begog tak sabaran.
“ya semua mahasiswa lulusan S1”, jawab Kang Sipon enteng.
“Maksudnya, mahasiswa non FKIP juga boleh ikut?!” Njenik mulai panic.
“Wah Yo ga adil no..masak kita bersaing sama anak murni? Seharusnya kan special to FKIP”, Begog emosi sampai keluar sungunya.embeeek…
“Halah kamu itu Gog Gog. Gayanya…wong kuliah saja bolong-bolong!”, sindir Kang Sipon.
“Haaa anak dari luar FKIP bisa ikut?????”, tanya Njenik dengan nada menggelegar.
Mendengar penjelasan Kang Sipon tentang mahasiswa non FKIP yang bisa mengikuti PPG, muka Begog mengerut kecewa tiadatara. Hatinya remuk. Remuknya melebihi ketika cintanya di tolak Njenik.
“Gog. How are you?” tanya Njenik.
“heh.heh. Apa?!” Begog bingung kaya abis kesurupan.
“Makanya ikhtiar mulai sekarang!”, Kang Sipon menyela.
“Gini kang, saya kan buka tipe mahasiswa yang pandai. Jadi aku takut akan gagal dalam seleksi PPG,” jawab Begog mendustai hatinya yang remuk dan kecewa.
“Jangan gito Gog. Aku itu tau isi hatimu yang sesungguhnya. Kecewa, merana, oh menyedihkan!”, Njenik meledek.
“Oya kamu kan soulmateku…? Hati ku utuh kembali Nik. Ternyata diam-diam kamu memperhatikanku! Ooh Njenik..”, Begog mulai lebay.
“Pede kamu Gog!”, saut Njenik males meladeni Begog.
“Tapi ko bisa gitu sih Kang,,terus apa gunanya ada FKIP jika harus ada PPG lagi?”, tanya Njenik lesu.
“Lha makanya itu…sebaiknyakan PPG cukup untuk mahasiswa non FKIP yang ingin menjadi guru. Kalau sudah dari FKIP ga perlu ikut PPG lagi. Toh FKIP kan sudah menjurus keguruan dan ilmu pendidikan”, Kang Sipon mulai Iya ya Gog. Kenapa mahasiswa dari luar FKIP bisa mengikuti PPG. Padahal PPG kan untuk meningkatkan profesional calon guru sedangkan yang dari luar FKIP kan bukan calon guru,” timpal Njenik.
Mereka bertiga menjadi bingung akan nasib ke depannya bila sampai gagal melewati tes seleksi itu. Wajah mereka menjadi kelihatan menanggung suatu beban yang sangat berat.
“Kang memangnya kalau kita tidak ikut PPG ga bisa jadi guru di sekolah ya?” tanya Njenik.
“Ya ga bisalah Nik,” jawab Begog.
“Ah kamu sok tahu Gog. Emang kayak gitu kang? Kalo kayak gitu sia-sia dunks usahaku selama ini, kasihan juga orang tuaku,” tegas Njenik.
“Ya bukannya kayak gitu. Kalo kita bisa mengikuti PPG kan masa depan kita lebih terjamin. Ya paling tidak ada harapan untuk hidup lebih baik. Karena isu yang saya dengar setelah mengikuti PPG kita tuch langsung penempatan.”
“Wach enak dunks bagi mereka yang nantinya bisa masuk PPG?” tanya Njenik.
“Ya…,” jawab Kang Sipon datar.
“Tetapi apa mungkin kitabisa lulus dalam tes seleksi itu. Misalnya saja, yang mengikuti tes seleksi merupakan mahasiswa kedokteran dan teknik yang notabene kecerdasannya sudah tidak diragukan lagi. Apalagi hanya dibandingkan dengan FKIP,” Njenik mencoba menyampaikan pendapatnya.
“Ya, mungkin mahasiswa dari FKIP malah nggak ada yang lulus bila disejajarkan dengan anak-anak kedokteran. Ya bukannya merendahkan FKIP ya, tetapi kan hal itu bisa saja terjadi,” Begog angkat bicara.
“Iya ya, begaimana dengan nasib mahasiswa FKIP selanjutnya?
“Ya mungkin kita tidak harus pesimis juga,” Kang Sipon datar.
“Atau mungkin begini saja Kang. Kalau dari mahasiswa FKIP tidak perlu melakukan seleksi, tetapi yang melakukan seleksi adalah mahasiswa yang dari luar FKIP. Kalau begitu kan kita tidak perlu khawatir karena yang mempunyai basic untuk mengajar kan kita, ya nggak?” Begog menyampaikan isi hatinya.
“Wach betul banget tuch Gog. Biar kita bisa menjadi guru profesional dan tidak perlu bersusah payah untuk sertifikasi apabila sudah mengajar. Tumben Gog idemu bagus,” Timpal Njenik.
Kang Sipon hanya tersenyum datar melihat tingkah kedua sahabatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar