Kamis, 29 April 2010

MAKELAR KASUS YANG TAK KELAR-KELAR





Melihat maraknya media massa maupun elektronik yang menulis tentang ”Makelar Kasus” atau yang lazim didengar dengan ”Markus” membuat rasa penasaran ingin tahu apa sebenarnya arti dan maknanya. Kalau mendengar kata makelar, benak kita langsung tertuju pada seseorang yang bertindak sebagai penghubung antara dua belah pihak yang saling berkepentingan. Kata makelar biasanya identik dengan istilah makelar tanah atau makelar barang-barang dagangan. Tapi lain, kini istilah makelar booming di dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Setelah kemarin ada istilah cicak, buaya, tikus, kemudian muncul yang lebih ngetrend dan keren yakni ”Markus, makelar kasus”. Meskipun sebenarnya kemunculannya sudah marak di zaman orde baru. Hanya saja selama itu keberadaannya seolah tersembunyi.
Tentunya, markus disini bukan lagi perantara jual beli mobil ataupun tanah, melainkan yang diperjualbelikan adalah sesuatu yang jauh lebih mewah dari sekedar mobil paling mewah sekalipun, yaitu keadilan yang sebenarnya kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa yang dtitipkan pada penguasa negara. Markus disini seperti benang kusut “Mana ujung dan pangkalnya”. Semua diskenario sedemikian rupa entah sejak tahun kapan dimulainya, tapi sekarang ini berita itu tercetak tebal di Headline news stasiun-stasiun televisi ataupun surat kabar. Lebih parah lagi, yang terlibat dalam markus adalah para penegak hukum baik peradilan, polisi, jaksa, hakim, anggota DPR dkk. Mereka tanpa merasa berdosa menodai lembaga peradilan yang telah diamanatkan. Sumpah jabatan yang diikrarkan dibawah kitab suci tak ada nilainya. Kini sumpah itu hanya sumpah serapah belaka. Nonsen.
Makelar kasus merupakan kejahatan luar biasa. Mulai dari dampak kerugian material negara, pencitraan terhadap dunia luar serta yang lebih ekstrem adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Emanuel Kant sendiri pernah mengatakan bahwa “Kalau keadilan sudah tidak dapat diperoleh berarti sudah tidak ada lagi alasan untuk bertahan hidup dimuka bumi”. Seperti itukah seharusnya hukum yang berlaku di Indonesia? Entahlah.
Mafia hukum atau yang populer dengan markus ini mulai tampak kepermukaan sejak mantan Kabareskrim Polri, Komisaris Jenderal Susno Duadji mengeluarkan pernyataan bahwa di Mabes Polri terdapat mafia kasus. Masalah ini semakin menyeruak dengan munculnya kasus Gayus Tambunan, seorang PNS golongan III/a di Direktorat Jenderal Pajak yang divonis bebas pada kasus penggelapan pajak sebesar Rp 28 miliar. Buntut dari kasus tersebut, yaitu sepuluh atasan Gayus di Direktorat Jenderal Pajak diberhentikan dari jabatannya. Jadi, tak ada salahnya jika muncul komunitas-komunitas pemerhati kasus markus, seperti munculnya komunitas facebookers antibayar pajak. Beribu-ribu penggemar sudah bergabung di dalamnya. Apa pemerintah ga merasa rugi sendiri? Toh pemerintah mau berdalih apa? Lha wong publik berbuat seperti itu juga karena orang-orang di atas (pemerintah.red).
Lengkap sudah rentetan nama-nama mafia hukum kelas kakap, mulai dari kasus Artalita Suryani, Anggoro dan Anggodo, Gayus Tambunan, Andi Kosasih, Sjahril Djohan dkk. Dengan uang, mereka bisa membeli segalanya termasuk hukum sekalipun. Begitulah adanya, sebuah penyakit kronis yang telah mengerogoti sistem hukum di Indonesia. Bukan suatu hal yang harus ditutupi, sejak terbongkarnya kasus Anggodo Wijaya dengan disiarkannya rekaman hasil penyadapan Mahkamah Konstitusi dalam persidangan Uji Materi UU KPK masyarakat kembali ditunjukkan dengan fakta vulgar yang kembali mengingatkan bahwa makelar kasus dalam penegakan hukum kita semakin kronis. Sungguh luar biasa, metode-metode yang dilakukan sistematis dan berkelas. Benar juga kalau Indonesia masuk lima besar dalam kompetisi negara terkorup di dunia. Mantab.
Memang berita markus menjadi fenomena heboh di kalangan birokrasi pemerintah. Masyarakat publik dibungkam dan didustai dengan rekayasa dan percaloan keadilan oleh penguasa domain hukum. Terkesan masyarakat hanya bisa memendam amarah melihat permainan bejat para mafia hukum. Sungguh ironis. Indonesia mau dibawa kemana, jika para pemimpin (penegak hukum.red) saja ribet dengan urusan pribadi. Sedang rakyatnya kalang kabut, mengemis kesana-kemari hanya untuk mengisi perut. Jadi, betul kalau dunia marah dan murka karena manusia tak mau tahu lagi apa yang terjadi di lingkungan sekitar. Hanya keegoisan dan invidualisme yang diagung-agungkan sehingga permasalahan tersebut tak kunjung usai. Daripada duit buat bayar lawyer, sidang sana-sini, jutaan bahkan milyaran rupiah masuk kantong mbok sudah, yang jelas terbukti salah langsung saja masukkan sel. Gitu saja repot! Belum lagi kasus itu menyita banyak waktu yang menyebabkan masyarakat mulai jenuh. “Mbok milih liat OVJ atau democrazy aja , dagelan ala Indonesia yang syarat dengan kritikan sosial dan lelucon ringan”. Plus bisa jadi hiburan tuk melepas lelah. Itulah sedikit komentar dari publik.

Siti Zulaikhah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar