Senin, 19 April 2010

BERAKHIRNYA NASIB SI KONTROVERSI (BHP)


Sorak gempita sebagian besar masyarakat pendidikan di Indonesia menyambut ditolaknya UU No. 9 tahun 2009 mengenai badan hukum pendidikan. Yang selama kiprahnya dari Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) hingga disahkannya oleh DPR menjadi Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan(UU BHP) pada tanggal 17 Desember 2008 banyak menimbulkan kontroversi dan berbagai penolakan dari berbagai pihak, terlebih masyarakat intelektual kita yang mengatasnamakan sebagai masyarakat pemerjuang golongan rakyat jelata yang secara asasi berhak untuk mendapatkan sebuah pendidikan yang layak merasa terenggut haknya ketika BHP diberlakukan. Maret 2010 tepatnya tanggal 31 kemarin mungkin akan menjadi sebuah hari bersejarah bagi perjuangan para mahasiswa yang mewakili aspirasi kelasnya dalam usaha untuk menolak diberlakukannya pendidikan Indonesia yang berbadan hukum. Sejak tahun 2004 ketika gagasan BHP ini diwacanakan sebagai Rancangan Undang-undang (RUU) secara tegas dan terang-terangan menentangnya. “Jangan komersialisasikan pendidikan di Indonesia,” itu merupakan teriakan yang tak pernah berhenti dari harapan mereka. BHP menjadi sebuah kontroversi ketika pemberlakuannya hanya untuk perguruan tinggi saja dan itupun yang negeri meliputi semuanya bahkan untuk sekolah tingkat menengah hingga dasar karena dijelaskan didalamnya jika itu untuk satuan pendidikan yang berarti adalah semuanya. Apa itu mungkin, melihat kondisi tiap sekolah yang ada di Indonesia secara fakta tidak dapat digeneralisasikan untuk kategori maju.

Bukan tanpa alasan yang jelas Mahkamah Konstitusi (MK) menolak undang-undang tersebut karena memang benar adanya jika dikaji secara lebih mendalam bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 yang nyata sebagai dasar hukum di Indonesia. Kalau kita menilai pengesahan RUU BHP menjadi UU merupakan upaya komersialisasi pendidikan meski penjaminan terhadap masyarakat miskin untuk menikmati pendidikan ada dalam pasal-pasalnya, namun otonomi yang diberikan terhadap pihak institusi akan membuat mereka berhak menentukan kebijakannya sendiri yang nantinya biaya pendidikan tidak luput untuk mereka tentukan. Tidak dapat dipungkiri, akibatnya pendidikan akan semakin mahal dan membebani masyarakat terutama dari kalangan tidak mampu. Pendidikan seakan-akan hanya dipersilakan bagi mereka yang mampu untuk menyekolahkan anaknya. Mereka yang mampu membayar mahal fasilitas pendidikan dianggap akan menjadi barometer kemajuan pendidikan Indonesia yang berkelas. Terlintas dalam pikiran bagaimana nasib saudara kita yang tidak mampu menjangkau biaya pendidikan yang berbadan hukum. Haruskah harapan besar mereka untuk mengenyam “ilmu” dari institusi pendidikan (sekolah) hanya sebuah mimpi belaka? Itukah yang dinamakan kemajuan pendidikan? Mungkin tepat jika itu hanya untuk sebagian masyarakat tertentu yang mampu. Pemerintah seharusnya konsisten dengan apa yang dijanjikannya dalam mewujudkan pendidikan yang murah. Artinya dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa akan semakin tampak di permukaan. Namun, hingga saat ini itu hanya menjadi program yang jauh dari realisasi.
Kini BHP yang selama ini menjadi momok menakutkan bagi masyarakat Indonesia yang ingin duduk dibangku belajar telah berakhir dengan putusan MK. Sejenak kita boleh merasa lega, namun bukan berarti ke depan akan jauh lebih baik. Menjadi PR bagi Mendiknas untuk membuat kebijakan pendidikan baru yang koheren dengan situasi bangsa kita. Menjadi sebuah kekecewaan pula bagi institusi yang telah mempersiapkan diri ketika UU BHP diberlakukan karena ternyata tidak. Tapi, berdasarkan pengakuannya baik dari Mendiknas sendiri maupun kepala institusi sepertinya sudah legowo. Kemendiknas, kata M.Nuh, tidak akan melakukan penolakan atau penentangan keputusan MK karena Kemendiknas merupakan instansi pemerintah yang taat pada hukum. Selain itu juga Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB), Akhmaloka menyatakan meski pihaknya sudah menyiapkan perangkat dan anggaran dasar UU BHP, ITB tetap akan mengikuti keputusan pemerintah. Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi sudah sepantasnya dapat menerima keputusan itu, toh keputusan itu sesuai dengan jeritan rakyat Indonesia yang rindu akan keadilan. Setelah penolakan ini, kami berharap Mendiknas mampu mendesain sistem pendidikan yang tepat dan sesuai undang-undang. Yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana pendidikan itu mampu untuk digapai oleh berjuta mimpi anak-anak bangsa jika mereka mampu untuk bersekolah, paham akan ilmu pengetahuan, kemajuan akan berjalan dengan sendirinya dan nyata itu bukanlah mimpi lagi.
Terjadi sebuah benturan antara pendidikan murah dengan pendidikan maju karena untuk pendidikan yang maju dan berkualitas dibutuhkan biaya yang mahal. Tapi yang menjadi pertanyaan, haruskah biaya yang mahal itu dibebankan pada rakyat? Harusnya pemerintahlah yang berupaya untuk mengatasi itu semua karena mahal tidak selalu lebih baik! Perlu menjadi sebuah kajian mengenai apa yang diharapkan bangsa kita saat ini terkait dengan pendidikan. Bahwa hanya ada satu harapan “KITA INGIN BERSEKOLAH”.

Wahyu Djoko Sulistyo
Pimpinan Umum LPM Motivasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar