Minggu, 11 Oktober 2009

KOLEKTIVISME YANG TERLUPAKAN



Akhirnya, bulan Ramadhan telah kita lewati. Masih dalam nuansa lebaran, saya beserta seluruh crew LPM MOTIVASI mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1430H mohon maaf lahir dan batin. Bukan cuma sekedar formalitas, tetapi kami mohon maaf dari hati yang tulus atas semua salah dan khilaf yang pernah tercipta antara kita. Semoga kita benar-benar menjadi manusia yang bersih di bulan yang suci ini.
Tak lepas dari nuansa lebaran, saya ingin berbagi sedikit cerita tentang pengalaman beberapa minggu yang lalu. Di Indonesia, nuansa lebaran seakan tak terpisahkan dengan tradisi halal bihalal. Lebaran tiba, maka saatnya bermaaf-maafan dan berkumpul kembali bersama keluarga, handai taulan serta kawan-kawan lama. Begitu pula dengan saya. Setelah berkumpul dengan keluarga dan sanak saudara maka saatnya berkumpul dengan kawan-kawan lama. Kawan-kawan seperjuangan SMA tepatnya. Bertemu di foodcourt salah satu pusat perbelanjaan ternama di kota Solo. Kami berkumpul kembali setelah beberapa tahun lamanya. Layaknya sebuah pertemuan maka kami memulai perbincangan dengan menanyakan kabar masing-masing. Perbincangan berlanjut dengan cerita masa-masa SMA dulu. Canda tawa pun menghiasi wajah kami. Sekitar empat jam lebih kami tenggelam dalam kebersamaan dibalut cerita-cerita lucu yang selalu menerbitkan tawa. Dalam riuh tawa dan keramaian suasana, terbesit kegelisahan dihati saya. Pasalnya, waktu empat jam lebih telah kami buang dengan cerita sehari-hari saja. Hanya ada canda tawa lepas tanpa ada diskusi ilmiah yang biasa dilakukan mahasiswa ketika berkumpul. Makanan yang kami pesanpun masih banyak bersisa. Kehidupan yang hedonis, begitulah kira-kira. Padahal disitu kami semua menyandang predikat mahasiswa. Tetapi dari pertemuan para mahasiswa itu tidak menghasilkan apa-apa. Rasanya saya sudah tidak betah dengan suasana itu. Perasaan saya semakin bergejolak ketika mendengar perbincangan seorang teman. Kira-kira seperti ini perbincangan mereka:
“Dengar-dengar kamu tiap hari kesini, ya? Emang ngapain aja?”
“Ga tiap hari, cuma sering. Ya paling-paling ngabisin uang dan gosipin orang”
Sungguh! Suatu jawaban yang mencengangkan. Inikah gambaran seorang mahasiswa? Sontak, pikiran saya pun melayang “memasak” apa yang baru saja saya dengar. Rasanya ingin marah mendengar jawaban itu. Ingin saya mengatakan, sadarkah teman-teman bahwa diluar tembok yang penuh gemerlap ini banyak anak-anak yang jangankan untuk bersenang-senang dan menghabiskan uang. Diluar sana, tidak banyak yang seberuntung kita bisa bersenang-senang dan tertawa lepas menikmati fasilitas yang kita nikmati sekarang. Banyak orang tua yang yang harus banting tulang, mengais rezeki di jalanan, menjadi pengemis, pengamen, pemulung atau kuli di pasar sekedar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sementara anak-anak banyak yang putus sekolah dan sudah harus berjuang dengan kerasnya hidup. Tidak pedulikah teman-teman akan nasib mereka yang berjuang demi hidup? Tetapi kemarahan itu hanya bisa saya simpan dibenak saya saja. Tidak ingin mengganggu suasana, saya hanya bisa mengikuti setiap obrolan yang berjalan.
Sungguh, tidak bisa saya bayangkan bagaimana nasib bangsa ini ketika individu-individu hanya memikirkan kesenangannya masing-masing. Seperti melihat dua sisi dalam satu keping mata uang. Sebenarnya satu keping, tetapi ada dua sisi yang bertolak belakang. Satu sisi di dalam tembok yang penuh dengan kesenangan, individu-individu merayakan kehidupannya. Disisi lain, individu-individu lain yang hidup dalam kemiskinan berjuang dengan kerasnya kehidupan. Padahal kita berada dalam satu bingkai Indonesia. Ada apa dengan individu-individu bangsa ini? Sudahkah tidak ada perasaan kolektif? Padahal saya masih ingat, ketika saya masih duduk di bangku sekolah selalu didengungkan tentang asas kekeluargaan dan manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan dan tidak dapat hidup sendiri. Tetapi agaknya pelajaran itu hanya menjadi sebuah teori saja. Dalam praktek, tidak sedikit yang hidup atas dasar kebutuhan semata. Asas kekeluargaan pun seperti menghilang. Seakan senada dengan yang pernah diungkapkan Bung Hatta. “Apa yang kita alami di Indonesia sehari-hari di sekitar kita, seolah-olah Pancasila itu diamalkan dibibir saja, tidak menjadi pelita didalam hati untuk membangun masyarakat baru. Tiap-tiap golongan berkejar-kejaran mencari rezeki, golongan sendiri dikemukakan, dan masyarakat dilupakan. Dalam teori kita mengikuti kolektivisme, dalam praktik dan perbuatan kita memperkuat individualisme. Dalam teori kita membela demokrasi sosial, dalam praktek dan perbuatan kita menghidupkan semangat demokrasi liberal”. Demikianlah yang pernah digambarkan Bung Hatta.
Andaikan saja negara ini diisi oleh individu-individu yang peka dan saling peduli satu sama lain. Bukan kepedulian semu atas dasar kebutuhan seperti yang sering kita dengar dari mulut politikus-politikus kita. Tentu bangsa ini akan menjadi bangsa yang sejahtera dan penuh dengan kenyamanan. Tetapi sayang, seperti inilah gambaran masyarakat kita sekarang. Masyarakat hanyalah kumpulan individu-individu yang berkumpul atas dasar kebutuhan. Dan setiap individu hanya mengejar kepentingannya masing-masing tanpa ada kepedulian terhadap sesama. Jurang si kaya dan si miskin pun semakin tajam. Budaya kapitalisme, individualisme, dan hedonisme semakin tak terbendung. Krisis moral pun tak terelakkan. Hanya bisa berharap semoga yang demikian tidak menghancurkan bangsa yang sudah susah payah dibangun oleh pahlawan-pahlawan bangsa.

Mahardhika Dwi W.
Pimpinan Litbang LPM MOTIVASI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar