Selasa, 18 Mei 2010

BALADA SI “UN"

Desi Purwaningsih*

Sempat terdengar di telinga kita tentang kesimpangsiuran berita pelaksanaan ujian nasional (UN). Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003 Pasal 58 ayat 1 menyatakan, “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.” Sementara itu, ayat 2 menyatakan, “Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala.” PP No. 19 tahun 2005 juga menyatakan bahwa ujian nasional bukan satu-satunya penentu kelulusan peserta didik dan peraturan ini telah disetujui oleh Mahkamah Agung (MA). Berdasarkan peraturan tersebut seharusnya pemerintah tidak berhak melaksanakan evaluasi yang bersifat nasional. Ini karena sebaiknya sistem pendidikan dilakukan secara desentralisasi tidak terpusat pada pemerintah pusat dalam hal ini menteri pendidikan. Namun, seperti yang telah kita ketahui ujian nasional ini tetap berjalan dan bahkan sekarang ini hasilnya sudah bisa diketahui bersama.
MA menilai bahwa UU SISDIKNAS perlu direvisi. "Kesalahan terpenting dalam UU Sisdiknas yang harus direvisi adalah tidak diakomodasinya semangat reformasi, yakni desentralisasi. Realitas yang terjadi adalah Sisdiknas yang sangat sentralistik!" Hal itu dibuktikan dengan adanya evaluasi secara nasional yang sering kita sebut dengan ujian nasional. Untuk menghindari hal itu, MA menghendaki jika pemerintah ingin tetap melaksanakan ujian nasional seharusnya mereka juga harus melakukan pemerataan fasilitas pendidikan dan mutu guru diseluruh tanah air. Ini dilakukan agar proses evaluasi yang dilakukan secara nasional benar-benar dapat berjalan sesuai prosedur dan tidak ada lagi anggapan bahwa siswa di daerah maju lebih pandai dan siswa di daerah terpencil kurang pandai sehingga siswa di daerah terpencil tingkat kelulusannya sangat rendah.
Pemerintah berdalih dengan tetap melaksanakan ujian nasional mereka tidak melanggar peraturan Undang-undang yang sudah ada. Ujian nasional kali ini dibuat berbeda dari yang biasanya. Pada ujian kali ini siswa yang tidak lulus ujian pada mata pelajaran tertentu ataupun pada semua mata pelajaran diberi kesempatan untuk memperbaikinya dalam ujian ulang yang menurut jadwal akan dilakukan pada tanggal 10-14 Mei 2010. Melalui ujian nasional pemerintah tidak dapat menentukan sesuatu siswa tersebut telah berhasil menyelesaikan belajarnya di suatu jenjang pendidikan tertentu. Pemerintah tetap memberikan kebebasan bagi masing-masing sekolah untuk menentukan kelulusan siswanya. Namun, meskipun demikian hasil ujian nasional menjadi bahan pertimbangan yang sangat penting bagi pihak sekolah untuk menentukan kelulusan siswanya.
Dan ujian nasional kali telah memperlihatkan hasilnya. Tingkat kelulusan tahun  ini lebih rendah dari tahun sebelumnya. Pada thun 2009 tingkat kelulusan mencapai 93,74 %, sedangkan pada tahun 2010 ini hanya mencapai 89,88 %. Hal itu berarti tingkat kelulusan tahun ini turun 4 % dari tingkat kelulusan tahun lalu. Standar kelulusan yang tinggi dan pengawasan yang ketat diakui pemerintah sebagai sebab turunnya angka kelulusan tersebut. Ini seolah digunakan tameng pemerintah atas naiknya angka ketidaklulusan.
Tidak hanya tingkat kelulusan yang menurun, efek yang ditimbulkan dari penurunannya tingkat kelulusan juga meningkat tajam. Di daerah tertentu banyak siswa yang melampiaskan kemarahannya dengan mendatangi sekolah-sekolah mereka, merusak fasilitas umum, bahkan sampai ada yang menganggap bahwa tidak lulus merupakan akhir dari semuanya. Mereka memilih untuk bunuh diri karena merasa gagal, tidak lulus ujian.  Padahal dengan lulus ujian hal itu tidak akan menjamin seseorang akan sukses untuk ke depannya.
Dari berbagai pandangan tentang ujian nasional, ada beberapa pihak yang menganggap bahwa ujian nasional itu sangat penting dan ada juga yang berpendapat bahwa ujian nasional belum seharusnya dilakukan di Indonesia. Menurut beberapa pihak dengan adanya ujian nasional maka pemerintah dapat mengetahui tingkat kecerdasan di Indonesia, pemerintah dapat mengetahui sejauh mana para siswa menguasai suatu materi secara nasional. Ada juga yang beranggapan bahwa seorang siswa memang seharusnya dievaluasi, jadi siswa harus bisa menerima bagaimanapun proses evaluasi itu, seorang siswa harus siap dengan sistem evaluasi yang dibuat oleh pemerintah.
Sedangkan menurut sebagian orang, ujian nasional hanya memberikan dampak buruk bagi berbagai pihak. Implikasi pelaksanaan UN telah banyak memakan korban. Berbagai persoalan mulai dari praktik kecurangan yang dilakukan oleh siswa dan oknum pendidik, beban psikologis para siswa, carut-marutnya distribusi materi UN hingga adanya pelanggaran prosedur. Bahkan sampai pada taraf keputusasaan para siswa untuk hidupnya. Menurut mereka, persoalan ujian nasional bisa saja terus dilanjutkan, hanya saja ujian nasional bukan satu-satunya cara yang digunakan untuk menentukan kelulusan seseorang. Guru memiliki peran penting dalam menentukan kelulusan siswa karena guru yang lebih memahami kemampuan masing-masing siswanya. Pendistribusian soal ujian nasional yang diperketat juga dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kebocoran soal UN.
Namun begitu, masih ada sebagian orang yang beranggapan bahwa ujian nasional tidak sesuai dengan kondisi yang seperti sekarang ini. “Tiga tahun sekolah diputuskan hasilnya dengan beberapa hari saja untuk ujian”. Hari yang menentukan untuk hidup mereka selanjutnya.
Setelah kemarin hasil UN SMA diketahui dengan tingkat kemerosoton yang tajam untuk kelulusan UN, akankah pemerintah masih keukeuh mempertahankan UN? Sudah waktunya pemerintah membuka mata dan telinga, melihat lebih jauh kepada dunia pendidikan kita. Bukan hanya menggunakan UN sebagai sarana politik semata.

*Bendahara Umum LPM Motivasi FKIP UNS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar