Rabu, 03 Februari 2010

Ironi Sebuah Negara Merdeka



“MERDEKA!!!!!”
Suara lantang dari seorang loper koran di lingkungan kampus FKIP UNS menggetarkan semangat nasionalisme saya ketika itu. Ya, begitulah ciri khas dari seorang loper koran yang biasa menjajakan korannya di kampus UNS. Namun, ketika itu pula seorang pengemis menadahkan tangannya, meminta-minta belas kasihan dari mahasiswa. Sungguh, membuat pikiranku terpaksa berpikir. Kenapa dalam negara yang merdeka tapi masih ada rakyat yang belum merdeka?
Saya jadi teringat dengan alenia pertama pembukaan UUD 1945 yang berbunyi; ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”.Begitulah bunyi pembukaan UUD 1945, kemerdekaan adalah hak segala bangsa, kemerdekaan bagi bangsa atas penjajahan karena tidak berperi-kemanusiaan dan peri-keadilan. Kemerdekaan itu berarti kemerdekaan bagi bangsa dan juga bagi rakyatnya, sebagai eleman utama dari sebuah bangsa. Pembukaan tersebut hampir setiap hari senin diucapkan di upacara bendera di sekolah-sekolah ataupun pada upacara peringatan hari-hari nasional.
Hampir 65 tahun lamanya merdeka, selama itu pula bangsa ini belum mengerti arti kemerdekaan dan kehidupan setelah merdeka. Mungkin dalam benak masyarakat Indonesia (termasuk para pejabat) arti kemerdekaan adalah terbebas dari penjajahan fisik. Terlalu lama bangsa ini dijajah oleh Bangsa Belanda dan Jepang sehingga arti kemerdekaan diartikan sebagai bebasnya dari kekangan atau tekanan-tekanan fisik dari penjajah. Padahal arti kemerdekaan tidak hanya itu, pengertian itu hanya bersifat sempit. Dalam arti luas, kemerdekaan itu adalah merdeka atau berhak mendapatkan hak-hak yang sudah menjadi haknya sebagai warga negara.
Terpenuhinya hak-hak sebagai warga negara adalah cerminan telah merdekanya rakyat dari penjajahan dan juga merdekanya bangsa Indonesia sesuai UUD 1945. Hak-hak rakyat sebagai warga negara adalah seperti yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen. Salah satunya pasal 28A UUD 1945; “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Dan pasal 28D UUD 1945; “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Sudah jelas dalam UUD 1945, bahwa hak hidup, mempertahankan kehidupan, pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil adalah merupakan hak bagi warga negara. Tidak melaksanakan atau tidak terpenuhinya hak-hak tersebut adalah melanggar UUD 1945. UUD 1945 adalah sumber hukum yang sangat dijunjung tinggi dalam hukum Indonesia.
Namun pada kenyataannya, masih banyak rakyat Indonesia belum merdeka. Para gelandangan dan pengemis (gepeng), mereka adalah rakyat Indonesia yang terabaikan hak-hak sebagai warga negara. Contoh paling dekat, di sekitar kampus kita, FKIP UNS, kita sering menjumpai pengemis berkeliaran dikampus. Tidak hanya di FKIP saja, di fakultas lain juga banyak bertaburan pengemis-pengemis yang semakin hari semakin memprihatinkan. Ataupun fenomena musim pengemis di daerah kos-kosan sekitar kampus UNS. Hampir setiap hari ada saja pengemis yang meminta-minta, bahkan terkadang dalam setiap harinya bisa lebih dari satu pengemis. Memang ini menjadi ladang kita untuk beramal memberikan sedekah. Namun, bukan berarti hanya ikhlas dalam bersedekah, tapi perlu dipikirkan sebuah solusi besar untuk mengatasi masalah hak hidup dan hak merdeka ini. Sungguh sangat memprihatinkan. Lantas Ini salah siapa? Tanggungjawab siapa?
Padahal bukankah orang miskin dan orang terlantar menjadi tanggung jawab negara? Ini adalah amanat UUD 1945. Namun bukan berarti hanya tanggung jawab pemerintah saja, kita sebagai manusia yang berhati nurani juga bertanggungjawab akan hilangnya hak-hak mereka (gepeng). Dalam sebuah hadist Rasuluallah SAW, yang intinya adalah tidak dikatakan beriman seseorang jika masih ada tetangganya yang masih kelaparan. Hal ini menunjukan bahwa kita pun bertanggungjawab atas hak-hak mereka.
Nampaknya dewasa ini sudah ada tindakan dari pemerintah akan masalah gepeng. Beberapa waktu lalu, ada beberapa pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah tentang kawasan bebas gepeng. Misalnya di DKI Jakarta dan Kota Surakarta. Akan tetapi kelihatannya kebijakan itu hanya mendeskriditkan kaum gepeng saja tanpa adanya perubahan nasib mereka. Pemerintah hanya melarang Gepeng berkeliaran mencari makan dikawasan-kawasan tertentu tanpa adanya penampungan, pembinaan, dan pengawasan bagi gepeng.
Permasalahan gepeng ini tidak semudah membalikkan tangan dalam penyelesaiannya. Sangat diperlukan solusi-solusi yang solutif untuk mengembalikan hak-hak mereka yang terabaikan. Tidak hanya menyelesaikan masalah dalam jangka pendek saja tapi jangka panjang. Pemerintah harus melakukan tindakan-tindakan yang efektif dalam permasalahan ini. Agar hak-hak mereka dapat terpenuhi sesuai dengan amanat UUD 1945.
Akan tetapi sepertinya para pejabat berwenang dapat dikatakan telah kehilangan hati nurani. Mata hati mereka telah tertutup arus kepentingan. Yang dipikirkan hanya urusan pribadi atau golongannya dari pada rakyat kecil. Buktinya, beberapa waktu lalu para pejabat lembaga tinggi negara akan difasilitasi mobil dinas Toyota Crown Royal Sallon seharga 1,3 miliar rupiah. Kebijakan yang semakin memperjelas ketidakperdulian para pejabat lembaga tinggi negara terhadap rakyat. Di kala rakyat miskin menadahkan tangannya mengharap belas kasihan orang, mereka harus tidur beralaskan koran bekas, bertahan melawan panasnya sengatan matahari dan dinginnya malam. Anak-anak kecilpun ikut merasakannya, seharusnya mereka belajar dan bergembira bersama teman-temannya di sekolah. Di kala itu pula para pejabat lembaga tinggi negara tertidur pulas seakan-akan tidak berhatinurani. Sungguh tidak berperi-kemanusiaan. Apakah ini yang dinamakan bangsa yang merdeka? Ya, merdeka bagi para pejabat tak berperi-kemanusiaan dan para pengusaha yang hanya mengeruk keuntungan belaka sedangkan rakyat harus menderita menanggung penderitaan.
Dengan keadaan seperti ini, maka terjadi tindakan pelanggaran HAM karena hak-hak warga negara terabaikan. Tidak hanya itu, tetapi juga pelanggaran atas UUD 1945 bahkan Pancasila. Pada Sila ke lima pancasila disebutkan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan atas terpenuhinya hak-hak sebagai warga Negara. Dalam masalah ini para gelandangan dan pengemis berhak mendapatkan kehidupan yang layak, jaminan pendidikan, perlindungan dan keamanan. Akan tetapi hak-hak itu belum terpenuhi, bahkan terabaikan. Pemerintah hanya memikirkan para pengusaha saja, rakyat kecil ditelantarkan. Apakah ini namanya keadilan? Tentu tidak.
“Rakyat belum merdeka! Rakyat belum merdeka!“ teriakan salah seorang pengemis ketika ditertibkan satpol PP beberapa waktu lalu. Sungguh sangat ironis sekali dalam sebuah negara merdeka namun rakyatnya jauh dari kemerdekaan. Semoga para pejabat negara terbuka hati nuraninya terhadap rakyat kecil khususnya gelandangan dan pengemis. Semoga kita juga bisa terbuka matanya dan peduli terhadap mereka. Paling tidak kita sebagai kaum intelektual mencoba peduli dan memikirkan solusi terhadap terpenuhinya hak-hak mereka. Kita mulai dari diri kita, mulai dari yang kecil, dan mulai dari sekarang.
Mufti Arief Arfiansyah*
Kabiro AK-47 LPM Motivasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar