Kamis, 21 Januari 2010

HUKUM VS KEBEBASAN BERPENDAPAT


Tidak selamanya hidup di negara yang mengusung demokrasi tinggi berarti terjamin hak-haknya untuk mengeluarkan pendapat. Yah, itulah setidaknya yang terjadi di Indonesia. Kebebasan berpendapat yang jelas-jelas tertanam dalam Undang-Undang Dasar pasal 28 UUD 1945 tampaknya belum mendapatkan tempat yang sesuai di negeri ini. Lihat saja fenomena-fenomena yang banyak terjadi akhir-akhir ini. Untuk mengeluarkan uneg-unegnya saja orang sering kali harus berurusan dengan hukum.
Sebut saja wanita malang yang bernama Prita Mulyasari. Nasib sial yang menimpa dia ketika ia berusaha memanfaatkan media elektronik untuk menyampaikan keluhannya akan pelayanan RS Omni Internasional yang dikatakannya tidak professional. Apa yang ditulis dalam surat elektronik atau yang lazim kita sebut dengan istilah e mail yang dikirim Prita kepada temennya sebenarnya adalah hal yang wajar. Ketika dia hanya ingin mengadukan haknya yang telah disepelekan oleh instansi tersebut lewat lembaran tulisan. Namun, apa yang menimpa ia selanjutnya benar-benar mencerminkan dibungkamnya hak-hak berpendapat masyarakat.
Katika pemerintah mengharapkan rakyat dapat berpikir kritis, seharusnya pemerintah sudah mengetahui apa konsekuensinya. Nalar kritis dari masyarakat dapat diukur dari kritik-kritik yang terlontar dari mulut masyarakat itu sendiri. Dan dalam penyaluran aspirasi tersebut sudah jelas medialah yang menjadi wadahnya, baik cetak maupun elektronik. Jika kebebasan untuk berbicara dalam media itu saja terbelenggu oleh banyaknya peraturan yang membatasi bagaimana mungkin rakyat dapat melakukan fungsi kontrolnya dengan baik. Hal tersebut sama saja dengan penyempitan nalar kritis masyarakat yang ujung-ujungnya akan mengarah kepada pembodohan. Lalu di mana letak perbedaan pemerintahan pascareformasi dengan orde baru, jika peraturan yang dibuatnya saja tetap mengekang dan sepihak?
Lain yang dialami Prita, lain pula yang dialami oleh Luna Maya. Ekspresi kekecewaan kepada infotainment yang ia luapkan melalui situs jejaring sosial (twitter) menuai buntut yang panjang. Hal tersebut akhirnya mengarahkan ia berhadapan dengan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) di meja hijau. PWI atau wadah yang menaungi kaum jurnalis entertainment merasa sakit hati atas tulisan yang dimuat Luna Maya dalam Twitternya. Padahal dalam status tersebut, Luna Maya sedang mengeluarkan kekecewaannya atas kerja jurnalis entertainment yang sering memberitakan urusan pribadinya yang menurutnya telah jauh melampaui batas privasinya dan menurut saya sendiri kurang penting. Akhirnya ia pun menuai hal yang sama seperti Prita, dilaporkan ke polisi atas dasar pelanggararan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, kemudian ia mendapat pembelaan dari AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia) yang menyatakan jurnalis entertainment bukanlah wartawan namun hanya sekelompok orang yang suka cari-cari masalah dan pantas mendapatkan pelajaran seperti itu. AJI bahkan menggunakan Luna Maya sebagai ikon kebebasan dalam berpendapat.
Sedikit saja menilik, apa yang digunakan oleh kedua wanita di atas untuk menyuarakan pendapatnya adalah media sosial, khususnya online. Yang harusnya memang digunakan untuk menjembatani masyarakat dalam berpendapat dan mengeluarkan suara. Lalu jika setiap kali ada orang mengeluarkan kritik tajam justru membawanya ke dalam masalah hukum, mana berani orang kemudian mengeluarkan pendapatnya. Lalu jika sudah seperti itu, apa gunanya Mailist ataupun blog-blog yang memang merupakan media untuk berpendapat dan juga berdiskusi. Dampak selanjutnya jika masyarakat tidak berani lagi untuk menuangkan kritiknya dalam media online tentunya adalah sepinya mailist dan blog-blog atapun situs jejaring sosial lain karena mereka takut berurusan dengan hukum. Ya sudah, internet hanya berisikan situs-situs porno yang merajalela dan dibiarkan saja oleh pemerintah.
Sebenarnya adanya peraturan yang mengatur masyarakat dalam mengeluarkan pendapat itu bagus. Namun, harus ditinjau lagi seperti apa peraturan itu. Di dalam UUD sepertinya jelas dikatakan bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat dilindungi oleh Undang-Undang. Namun, jika kita melihat Peraturan Perundang-undangan sendiri disadari atau tidak banyak hal-hal yang bersifat mengekang di sana. Contoh konkretnya seperti kasus-kasus diatas, dalam tulisan yang sering dianggap wajar, tetapi dapat dengan mudahnya dikenai pelanggaran hukum atas dasar pencemaran nama baik. kebebasan berpendapat memang benar-benar belum menemukan rohnya hanya jiwa kosong saja yang selama ini digembar-gemborkan. Begitulah memang cerminan demokrasi bersuara di Indonesia saat ini, mau bilang apalagi memang begitulah keadaannya.
Akhirnya saya hanya bisa menitipkan pesan kepada masyarakat. Jangan pernah takut untuk berpendapat, sejauh apa yang kita suarakan memang realita yang dapat dipertanggungjawabkan. Kita boleh meminta kebebasan, tetapi hendaknya juga dibarengi dengan tanggung jawab. Jadi, bukan pula kemudian kita sembrono dalam mengungkapkan suara kita. Saya yakin kritik yang membangun akan membawa kemajuan pada tatanan kehidupan sosial. Namun begitu, suatu saat kita juga harus siap mental untuk dikritik. Jangan malah sembunyi di ”ketiak” hukum dan bertindak seperti pengecut. Hadapilah segala kritik secara bijaksana dan lapang dada.

Fitriana Heni H
Kabiro Pengkaderan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar